Jumat, 20 Januari 2012

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM TENTANG EMANSIPASI WANITA DAN WACANA GENDER







stain2





PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM
 TENTANG
EMANSIPASI WANITA DAN WACANA GENDER
Oleh:
ZAINAL MASRI
A.    PENDAHULUAN
Islam telah memberikan hak-hak kepada wanita seperti yang diberikan kepada pria dan membebankan kewajiban-kewajiban kepada sebagaimana yang dibebankan kepada pria, kecuali beberapa hal yang khas bagi wanita atau karena adanya dalil-dalil syara’. Islam mewajibkan kepada wanita untuk mengenban dakwah dan menuntut ilmu pengetahuan yang menjadi keperluannya didalam menjalankan tugas-tugas hidupnya.
Islam mengijinkan wanita untuk menangani pertanian, perindustrian dan perdagangan, serta mengadakan akad-akad perjanjian. Wanita memegang selaga macam hak milik. Baginya boleh mengembangkan hartanya mengatur secara langsung segala urusan kehidupannya.[1]
Islam telah menetapkan hak dan kewajiban bagi wanita dan bagi pria, maka pada hakikatnya hal tersebut adalah hak dan kewajiban yang terkait dengan kepentingan masing-masing mereka sesuai dengan yang dikehendaki ad-din. Hak dan kewajiban tersebut akan sama apabila tabiat manusiawi menghendakinya dan dijadikan berlainan jika tabiat masing-masing sejenis menghendaki demikian. Persamaan hak dan kewajiban yang demikian itu tidak diseebut emansipasi[2].
Pandangan islam terhadap wanita adalah sama dengan pandangannya terhadap pria dilihat dari segi kemanusiaan. Wanita adalah manusia dan priapun manusia, masing-masing tidak berbeda dari segi kemanusiaannya, bahkan tidak ada keistimewaannya bagi yang satu atas yang lainnya dari sudut ini, atas dasar inilah pandangan islam terhadap pria dan wanita adalah sama, sabda Rasulullah SAW:
“sesungguhnya kaum wanita adalah setara dengan kaum pria”. (HR. Abi Dawud dan An-Nasa’i)
Emansipasi artinya kemerdeekaan atau pembebasan, sedangkan yang dikatakan dengan emansipasi wanita yaitu kemerdekaan atau pembebasan bagi kaum perempuan dalam memperjuangkan hak kesetaraan dengan kaum pria.
Gender berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata Genus, yang berarti” jenis atau tipe”. Dengan demikian gender dapat diartikan sebagai sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk sosial maupun budaya atau Gender adalah suatu konsep , rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yng membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan  yang dikerenakan perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibekukan menjadi budaya dan seakan tidak bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi perempuan[3].
Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidakmengakibatkan diskriminasi atau ketidakadilan. Patokan  atau ukuran sederhana yang dapat digunakan untukmengukur apakah perbedaan gender itu menimbulkan ketidakadilan atau tidak adalah sebagai berikut:
1.      Sterotype
Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan.Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang  yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :
1)       Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.
2)  Perempuan tidak rasional, emosional.
3)  Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
4)  Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
5)  Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.
2.      Kekerasan
Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya.
Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.
Contoh :
1)       Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga.
2)       Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
3)       Pelecehan seksual.
4)       Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.
3.      Ganda (double burden)
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
4.      Marjinalisasi
Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh :
1)       Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
2)       Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti  sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
3)       Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan,
5.      Subordinasi
Subordinasi Artinya : suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.
Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi public laki-laki. Sepanjang penghargaan social terhadap peran domestic dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung.
Contoh :
1)       Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki.
2)       Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
B.     Pembahasan
1.      QASIM AMIN
a.         Riwayat Hidup Qasim Amin
Qasim Amin nama lengkapnya Qasim Amin Bey dilahirkan di kota Iskandariyah (Mesir) pada bulan Desember 1863. Ayahnya bernama Muhammad beek Amin berasal dari Turki. Qasim Amin memulai penddidikannya dari sekolah dasar pada umur 8 tahun. Kemudian melanjutkan ke tingkat Madrasah Tsanawiyah di Kairo. Setelah tamat, ia melanjutkan ke Perguruan Tinggi pada tahun 1881 dalam usianya yang ke 18 tahun, ia pernah dikirim ke Universitas Montoelhier Perancis pada Fakultas Hukum hingga mencapai gelar kesarjanaannya. Dengan llmu yang dimiliki telah membawanya menjadi seorang hakim terkenal di Mesir, yang bekerja sebagai pengacara.[4]
Dengan bekal gelar licance-nya ia bekerja sebagai pengacara pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya, seorang pengacara besar pada saat itu yang memang sudah memiliki hubungan baik dengan orang tua Qasim. Melalu perantara kantornya, Qasim berkesempatan untuk melanjutkan studi di Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya. Dalam masa perantauannya di Paris, di Mesir sendiri pada saat itu terjadi Revolusi Arab yang dipimpin murid-murid Jamaluddin al-Afghani. Revolusi ini berakhir dengan penjajahan Mesir oleh tentara Inggris dan tokoh tokoh revolusi tersebut dihadapkan ke Meja Hijau. Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir, dan pada akhirnya keduanya menetap di Paris. Di sinilah Qasim kembali menjalin hubungan dengan Al-Afghani dan juga menjadi penerjemah pribadi bagi Muhammad Abduh.
Selayaknya orang asing di kota Paris, ia berusaha untuk bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis. Namun karena beliau memiliki kepribadiannya yang mencirikan kepribadian bangsa Timur; pemalu dan tertutup, dan terdapat perbedaan yang sangat jauh antara budaya Perancis dan budaya Mesir, maka ia tidak bisa bergaul dan berinteraksi dengan bebas dan luas. Namun, sebagaimana lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di kampus, Qasim Amien juga memiliki teman perempuan yang istimewa. Dari kebersamaannya dengan gadis Perancis tadi, disinyalir mulai tumbuh benih-benih kepeduliannya terhadap kaum hawa, yang nantinya membidani perjuangannya di Mesir yang penuh dengan bentuk interaksi sosial yang diskriminatif. Kekasihnya menjadi sumber inspirasi dan penggugah kesadaran bahwa kaum perempuan sebetulnya memiliki kemampuan yang selama ini “tidak pernah difungsikan”.
Sekembalinya dari Paris pada tahun 1885, ia diangkat menjadi hakim. Kariernya sebagai seorang hakim semakin meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat menjadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi di Mesir. Dari daerah ini ia memulai pergerakannnya dalam mengadakan perbaikan-perbaikan di segala bidang sosial (ishlâh ijtimâ’î). Jasa-jasanya yang patut diacungi jempol pada saat itu, ia berupaya keras membebaskan para narapida politik.
Tahun 1894, Qasim Amien menikah dengan seorang gadis pilihannya yang masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab Amien Taufiq. Dan pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis, karya pertamanya lahir, “Al-Mashriyyûn” (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa Perancis. Buku ini adalah counter terhadap tulisan seorang tokoh Perancis, Duc D’harcouri, yang mengecam realitas sosio-kultural masyarakat Mesir. Karya perdana ini rupayanya bisa menggenjot kreatifitas Qasim Amien dalam dunia tulis-menulis. Selanjutnya lahir karya-karya Qasim Amien yang menjadi magnum opus-nya, yaitu, “Tahrîr al-Mar’ah’” (Pembebasan Perempuan) terbit pada tahun 1899 dan “Al-Mar’ah Al-Jadîdah” (Perempuan Modern) yang terbit tahun 1900.

b.        Pemikiran dan Pembaharuan Qasim Amin tentang Emansipasi Wanita
Pada masa Qasim Amien, posisi kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat tidak lebih hanya sebagai konco wingking-nya laki-laki, artinya, tugas sosialnya hanyalah “sekedar” pelayan bagi seorang suami, seorang istri hanya bertugas menghidangkan makanan bagi sang suami, mengandung dan melahirkan anaknya, dan bahkan tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal tentang suaminya. Ia juga “hanya” ibu bagi anak-anaknya, tugasnya melahirkan, menyusui dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi anak, tanpa ada bekal pengetahuan sedikitpun tentang pengasuhan dan pendidikan anak. Padahal, kualitasgenerasiumatsangattergantungpadapendidikananak, khususnyapendidikan yang ditanamkanibupadamasa-masaperkembanganawal.
Sedangkannasibperempuanpadasaatitudalamkondisi yang terpurukdanmengenaskan.Pendidikansekolahhampirtidakpernahdirasakankaumperempuan, pendidikannonformaldaripihakkeluargadanlingkunganmerekahanyasekedarpembekalanuntukmengatururusandapurdanrumahtanggasaja.Interaksisosialbagikaumperempuanpadasaatitudenganmasyarakatluashampirmenjadisuatuhal yang mustahil, karenaia “terpenjara” di antaradinding-dindingrumahmerekasendiri. Keadaan yang ironistersebutmemasungkebebasankaumperempuan, baikkebebasanberkehendak, berpikirdanberbuat yang semestinyamenjadihakasasisetiapinsan.Perempuanterkekangdantunduk di bawahkekuasaankaumlelaki.Kondisiinilah yang menyentuhhatiQasimdanmendorongnyauntukberjuang demi melakukanpembaruansosialkearah yang lebih “memanusiakan” manusia.Qasimsadarbahwafenomenasepertiinimerupakansalahsatusebabutamaketerbelakangandankejumudanmasyarakat Islam di Arab.
MenurutQasim, kebebasankaumperempuanadalahmasalahpertama yang harusdiperjuangkan. Karenabagaimanapun, kebebasanmerupakankekayaantermahalbagisetiapmanusia yang memilikihakuntukmerdekadanbebas.Namunperlumenjadicatatan, kebebasan yang ditekankanQasimbukanlahkebebasanmutlaktanpabatas, melainkankebebasan yang dibatasidengankerangkasyariat agama danetikasosial.Kondisikaumperempuanpadawaktuitubisadisamakandenganbudak, karenabudakadalah orang yang terampaskemerdekaandanhak-haknya.Jangankanhakuntukmemperolehpendidikan, kebebasanuntukberkehendaksajasudahsedemikianterkekang.Sehinggaiatidakmempunyaikebebasanuntukberbuatlebihbanyak, baikuntukdirinyasendiri, keluargadanmasyarakatnya.
Qasimaminadalahseorangahlihukum yang belajar di Perancisdanmempunyaihubunganpersahabatan yang eratdengan Muhammad Abduh.Menurut guru, wanitadalam Islam sebenarnyamempunyaikedudukantinggi, tetapiadatistiadat yang berasaldariluar Islam merobahhalitusehinggawanita Islam akhirnyamempunyaikedudukanrendahdalammasyarakat.
Ide inilah yang dikupas oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahril Al-Mar’ah (emansipasi wanita). Memurut Qasim umat Islam mundur karena kaum wanita yang di Mesir merupakan setengah dari penduduk tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah. Pendidikan terhadap wanita perlu bukan hanya agar mereka dapat mengatur rumah tangga dengan baik tetapi lebih baik dari pada itu untuk dapat memberikan pendidikan dasar bagi anak-anaknya.
Sesungguhnya dalam ajaran islam tidaklah ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dari sini Qasim Amin melihat kaum wanita belajar sekurang-kurangnya dari pendidikan dasar, sehingga mereka memiliki penguasaan pada sendi-sendi keilmuan yang bisa membuat mereka mampu  memiliki kesesuaian dengan keinginannya serta bisa mengerjakan sesuatu secara teliti atau cermat.
Ide Qasim Amien yang banyak menimbulkan reaksidizamannya ialah pendapat bahwa penutupan wajah wanita bukanlah ajaran Islam. Demikian juga soal kebiasaan yang kemudian dianggap ajaran Islam. Tetapi tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dari berbagai pihak berdatangan kritik dan protes terhadap ide-ide yang dikemukakan Qasim Amien itu sehingga ia melihat perlu jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama Al-Mar’ah Al-Jadidah(wanita modern)[5]. Terbit pada tahun 1901 dimana isinya adalah menyerang gambaran tentang potret kehidupan rumah tangga muslim pada masa kegelapan

2.      RIFFAT HASAN
a.      Riwayat Hidup Riffat Hasan
Ia dilahirkan di Lahore Pakistan dengan kenangan masa kecil yang tanpa keceriaan. Tujuh belas tahun perjalanan hidupnya digambarkan sebagai penuh kegelapan dan tiada keindahan. Ia sendiri mengungkapkan betapa inginnya ia memiliki masa kecil yang berbeda. Masa kecilnya sendiri merupakan mimpi buruk yang tak pernah berhenti membayang-bayanginya. Apa yang diingat dengan jelas dari kenangan masa kecil adalah betapa sepi dirasakannya sebuah rumah yang dihuni banyak orang dan betapa ketidakbahagiaan, ketakutan dan kebingungan selalu melingkupinya hampir sepanjang waktu (Riffat Hasan, 1996). Riffat Hasan bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan
terlahir dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas.
Ayah dan ibu mereka tinggal di rumah yang luas dan mendapat pendidikan Inggris yang baik. Lingkungan sekitar mereka sangat baik dan hormat. Namun itu semua tidak menghapus bayang-bayang buruk yang memenuhi pikiran Riffat Hasan karena konflik antara kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya tidak hanya bertentangan secara diametral dalam soal pandangan terhadap hampir semua masalah, tetapi juga sangat tidak sejalan dalam hal temperamen dan karakter. Ayahnya menganut pandangan dan cara hidup yang sangat tradisional terutama keyakinannya mengenai peranan seks dan bahwa yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin pada usia enam belas tahun dengan seseorang yang telah dipilih orang tua. Meskipun ayahnya benar-benar seorang yang baik dan suka membantu menyelesaikan masalah orang lain. Sementara ibunya bersikap tak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional khususnya kultur yang meneguhkan inferioritas dan ketundukan perempuan kepada laki-laki. Penolakan ibunya terhadap cita-cita dan praktik budaya patriarkhi serta komitmennya untuk membebaskan anak perempuannya dari chardewari (empat dinding) rumah tangga yang terpusat dan didominasi laki-laki menempatkannya ke dalam kategori feminis radikal (Riffat Hasan, 1996: 5-6).
 Kesan Riffat Hasan terhadap ibunya adalah sebagai figur penyelamat yang selalu melindunginya. Sedangkan ayahnya yang dikagumi dan dicintai banyak orang adalah figur yang menakutkan, mewakili moralitas adat dalam sebuah masyarakat yang menuntut anak perempuan dibedakan sejak saat dilahirkan. Tiga hal yang memungkinkan ia lepas dari kesulitan hidup adalah keyakinannya akan Tuhan yang adil dan penyayang, seni menulis puisi, dan kecintaannya yang dalam kepada buku. Ia lalui masa kecilnya dengan tiga hal tersebut, hingga akhirnya ia bisa meraih prestasi-prestasi akademik yang membanggakan. Di usia kesebelas kesadaran Riffat Hasan akan perjuangan sebagai seorang feminis bermula, hal itu terutama karena peristiwa pernikahan kakak perempuannya yang berusia enam belas tahun dengan lelaki kaya tapi berpendidikan rendah. Kakaknya telah berusaha menolak namun tetap saja tak kuasa menghadapi adat yang telah ada, di mana penolakan perempuan untuk tunduk pada otoritas patriarkhi sama dengan bid’ah. Dari peristiwa inilah ia menyadarkan dirinya untuk belajar berperang, mempertahankan hidup dari tekanan dominasi laki-laki. Jiwa pemberontaknya mulai bergolak dan itu semua berpuncak tatkala Riffat Hasan di usia ketujuh belas berkeinginan melanjutkan kuliahnya di St. Mary’s College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih gelar doktor filsafatnya pada usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi Filsafat Muhammad Iqbal.
Setelah itu ia kembali ke tanah kelahirannya Pakistan hingga ia kemudian menikah dengan lelaki bernama Dawar. Namun karena kelebihankelebihan yang dimilikinya menjadikan ia tampak lebih menonjol dibanding suaminya, dan hidup di masyarakat yang menilai laki-laki harus lebih dari perempuan membuat pernikahannya tidak berusia lama. Setelah gagal untuk yang pertama kali, Riffat Hasan pun menikah lagi dengan Mahmoud, seorang Muslim Arab Mesir, yang berusia tiga puluh tahun di atasnya. Mahmoud terbiasa memerintah untuk melakukan apa saja yang diinginkan atas nama Tuhan dan Riffat dianggap tidak punya hak untuk menolak, karena dalam kultur Islam menolak untuk melakukan apa yang menyenangkan hati suami sama dengan menolak melakukan apa yang disenangi Tuhan. Perkawinan kedua ini berlangsung singkat, tetapi melelahkan Riffat Hasan secara fisik dan mental karena berada di tangan seorang laki-laki yang tidak saja unggul secara berlebihlebihan, tapi juga seorang fanatik yang bisa meminta atas nama Tuhan untuk melakukan tindakan-tindakan kejam dan sangat tidak berperasaan terhadap manusia yang lain. Pengalaman hidup yang denikian itulah yang membuatnya menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi dalam kerangka tradisi Islam, sehingga mereka yang disebut laki-laki Tuhan tidak bisa mengeksploitasi perempuan muslim atas nama Tuhan.[6]

b.      Pemikiran dan Pembaharuan Riffat Hasan
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masih ada sebagian umat Islam yang berlaku zalim dengan melarang perempuan menikmati haknya dalam memperdalam pengetahuan agama, berperan dalam dunia kerja, dan pergi ke mesjid-mesjid untuk beribadah atau belajar, padahal itu semua diperbolehkan oleh ajaran Islam. Ada juga yang memaksakan perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, bahwa mewajibkan perempuan terpenjara didalam rumah seumur hidupnya.
            Namun dibalik fenomena tersebut, masih ada fenomena lain yang menarik, sebagian umat Islam menolak mentah-mentah sikap kaku dan tidak manusiawi tersebut. Diantara hak-hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan Islam adalah sebagai berikut:
1.      Hak-hak perempuan dalam bidang politik
Didalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam wilayah politik. Salah satu ayat yang sering kali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah dalam QS.At-Taubah ayat 71.
2.      Hak-hak perempuan dalam memilih pekerjaan
Perempuan dalam pandangan Islam mempunyai hak untuk bekerja disegala bidang pekerjaan yang legal, sebagaimana laki-laki juga mempunyai hak bekerja disegala bidang pekerjaan yang legal. Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan, bahu membahu dengan kaum lelaki. Disamping itu para perempuan pada masa Nabi aktif dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dll.
3.      Hak dan kewajiban belajar
Akhir abad ke-19 dan 20 membawa banyak perubahan penting bagi sejarah kedudukan perempuan. Para intelegensi berpendidikan barat yang berada di negeri muslim berusaha melancarkan pembaharuan sosial dan politik, orang-orang yang radikal mengusulkan program emansipasi wanita dan integrasi mereka didalam masyarakat dalam kedudukan yang sepenuhnya sama dengan laki-laki. Mereka menegaskan bahwa pendidikan wanita sangat diperlukan untuk membebaskan mereka dari sikap malas dan dari kehidupan yang kosong untuk mempersiapkan mereka cakap dalam bekerja, melatih mereka membina keluarga yang harmonis, serta dalam menjalankan perannya sebagai ibu dan pendidik generasi modern.
Islam memandang setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan bertanggung jawab terhadap nilai keimanannya kepada Allah pada hari kemudian. Apabila dalam masalah akidah, tidak diperkenankan adanya taklid buta. Karena pencapaian nilai keimanan membutuhkan proses pemikiran dan perolehan ilmu untuk memperluas cakrawala pemikiran dan pengetahuan, maka wanita sebagaimana pria memerlukan pengembangan potensi rasionalitasnya dengan ilmu.
Refleksi Pemikiran Riffat Hasan
Pemikiran seseorang tidak bisa dilepaskan dari eksistensi kehidupannya,semua manusia akan menangkap realitas berdasarkan perspektif dirinya,latar belakang sosial dan psikologi individu yang mengetahui tidak bias dilepaskan dalam proses berpikir yang kemudian melahirkan formulasiformulasi ide. Seperti yang dikutip (Budiman:1991:15) bahwa pendekatan pada suatu masalah pada tahap abstrak sampai dengan tahap realitas yang diharapkan orang untuk mencapai permasalahan yang dimaksud adalahsangat terkait dengan kehidupan sosialnya, hal ini terkait dengan hal-halsebagai berikut[7]:
1. Problem Perempuan dalam Islam
Perbicangan tentang problem perempuan dalam Islam merupakan suatu kesenjangan antara teoritis dan praksis, karena antara cita ideal dan realitas empiris menjadi fenomena dominan dalam kehidupan perempuan.
Bentuk-bentuk pemasungan terhadap perempuan masih menjadi bagiandari tradisi masyarakat Islam. Misalnya negara Pakistan (salah satu) Negara Islam yang memperlakukan perempuan secara sewenang-wenang. Program islamisasi yang dicanangkan pemerintah dimulai dengan upaya domestikasi perempuan, dengan cara memaksa perempuan masuk kembali ke rumah, menutup seluruh tubuh mereka dan mengekang mereka dengan peraturanperaturan yang memberatkan (Anshori:1997:102).
Perlakuan yang demikian menurut Riffat menunjukkan kebencian terhadap perempuan. Bahkan seakan-akan pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk memulai islamisasi. Sebab dibutuhkan waktu lama untukmerumuskan konsep-konsep politik, negara atau ekonomi Islam secarasolid; sehingga jilbabisasi perempuan merupakan cara yang termudahuntuk membedakan diri dari negara-negara nonislam. Karena menurut Riffat, perintah berjilbab adalah agar perempuan menjaga kesopanan.
Hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan yang benar untuk melakukandomestikasi perempuan dan mengeluarkannya dari keterlibatan di sector publik (Wajidi:1993:19). Dalam hal tersebut perlu adanya dekonstruksi secara holistik dan sistematis untuk mengurai lebih jauh tentang sebab perilaku tidak adil dan penindasan terhadap perempuan. Karena sistem patriarkhi dalam sejarah manusia sangat dominan, maka pembongkaran konsep dan implementasinya dapat dilakukan melalui berbagai dimensi yaitu sosiologis kultural, psikologis, antropologis dan teologis. Dalam konteks ini Riffat Hasan yang mengaku pemikirannya sangat dipengatruhi tokoh neo-modernis (Fazlur Rahman) mencoba mencermati melalui dimensi teologis. Penjajahan laki-laki terhadap perempuan yang dilakukan secara in-human, mendapat legitimasi teologis yang sampai saat ini meski sangat interpretatif tetapi setidaknya tetap menyudutkan perempuan pada posisi derivatif (Hakim:1994).


2. Dekonstruksi Tradisi Islam
Tradisi Islam yang perlu penataan ulang bahkan pembongkaranpemahaman adalah didasarkan pada asumsi bahwa konstruksi teologi yangmisoginis yang disebabkan pengaruh budaya Arab pra Islam yang misoginisdan bias anti perempuan yang diserap Islam dari tradisi agama Kristen dan Yahudi. Beberapa hal yang terkait dengan pembahasan teologi feminis dalamtradisi Islam perlu dipaparkan bahasan yang sistematis.
3. Feminisme
Sebagaimana dikemukakan (Fitalay:1997:19) bahwa feminisme yangberasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanandiawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkanlaki-laki di masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untukmengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Operasionalisasi upaya pembebasan dari kaum perempuan dari berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminis. Sebagai suatu gerakan, titik tolak pembahasan feminism harus mengacu pada definisi operasional bukan dari definisi ideologis; sehingga feminisme dilihat sebagai suatu seruan beraksi atau suatu gerakan dan bukan sebagai fanatisme keyakinan. Feminisme sebagai suatu gerakan
Memiliki dimensi sejarah panjang, dimulai pada abad ke-14 yang oleh (Aida 1997:20) disebutkan ada lima dasar preposisi feminisme pada abad ke-14 sampai abad ke-18 yaitu:
a.       Timbulnya kesadaran beroposisi terhadap fitnah dan kekeliruan perlakuan terhadap perempuan dalam bentuk oposisi dialektis terhadap praktik misogyny (kekejaman kaum pria terhadap kaum perempuan).
b.      Adanya suatu keyakinan bahwa jenis kelamin bersifat kultural dan bukanbersifat biologis.
c.        Adanya suatu keyakinan bahwa kelompok sosial perempuan merupakanpenajaman pendapat kelompok sosial laki-laki tentang ketidaksempurnaanjenis kelamin tertentu sebagai makhluk manusia.
d.       Adanya suatu warisan sudut pandang dalam menerima sistem nilai yangberlaku dengan cara mengekspos dan menentang prasangka serta pembatasan perbedaan jenis kelamin berdasarkan perspektif kultur.
e.       Adanya keinginan untuk menerima konsep manusia dan perikemanusiaan. Semua preposisi tersebut dimaksudkan untuk memberi kemungkinan menjadi yang terbaik untuk setiap anak manusia (termasuk perempuan) karena adanya potensi diri yang memungkinkan hal tersebut dapat terjadi.
Oleh karena itu makna feminis di sini adalah mencai peluang kebebasan/kemerdekaan perempuan untuk perempuan. Dengan demikian gerakanfeminis pada saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya dengan biasperlakuan terhadap laki-laki karena perempuan hanya inginmemperhatikandirinya sendiri dengan lebih baik.Feminisme sebagai suatu gerakan, menurut Aida memiliki tujuansebagai berikut:
1.      Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia denganmengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungankemitraan universal dengan sesama manusia.
2.      Menolak setiap perbedaan antarmanusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin.
3.      Menghapuskan semua hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasantertentu atas dasar jenis kelamin.
4.      Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruhtentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturantentang manusia dan kemanusiaan.
4. Tranformasi Sosial Islam
Untuk memahami interpretasi terhadap ajaran agama sangat dipengaruhioleh background penafsirnya, artinya tafsir agama erat kaitannya denganaspek ekonomi, politik, kultural dan juga ideologi. Dari sinilah diperlukankajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama.Suatu proses kolektif yang mengkombinasikan studi, investigasi, analisissosial, pendidikan serta aksi untuk membahas isu perempuan.
 Sebagaimana dikatakan Mansour Fakih (2001:134) bahwa perubahankacamata pandang yang digunakan dalam penafsiran masalah-masalahsosial Islam diharapkan dapat memberikan semangat dan kesempatanperlawanan kepada kaum perempuan guna mengembangkan tafsiran ajaran agama yang tidak bias laki-laki. Usaha ini dimaksudkan untuk menciptakan perimbangan dan perubahan radikal dengan menempatkan perempuan sebagai pusat perubahan. Proses ini termasuk menciptakan kemungkinan bagi kaum perempuan untuk membuat, mengontrol dan menggunakan pengetahuannya sendiri. Usaha seperti yang tersebut di atas itulah yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis menuju transformasi kaum perempuan. Gerakan transformasi ini mempercepat transformasi social secara luas dan menyeluruh. Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan M. Syifa Amin W (2001:1) bahwa selama ini mainstream gerakan dakwah Islam di pentassejarah Indonesia didominasi oleh dua kutub pemikiran yang sudah populer,yakni pemikiran tradisionalis Islam yang seringkali dialamatkan kepada NU, dan pemikiran modernis Islam untuk mengidentifikasi organisasi massa Islam seperti Muhammadiyah. Pemikiran tradisionalis Islam lahir dari rahim semangat Islam untuk mengapresiasi tradisi masa lalu, tradisi lokal, dan tradisi budaya di mana Islam akan dikembangkan. Sedangkan pemikiran modernis bermula dari fenomena adanya kecenderungan keberagamaan yang dianggap melenceng dari tradisi adiluhung Nabi Muhammad saw yang bersumber Alqur’an dan Alhadis. Untuk itu, fenomena tersebut harus diluruskan kembali supaya tetap berada di jalur yang benar, dengan kembali ke al-Qur’an dan al-Hadis.
Sementera munculnya sebuah mode of thought dalam agama (baca:teologi) yang mengkritik pemikiran tradisionalis dan modernis tersebut, yakni teologi transformatif. Kritik teologi ini atas pemikiran tradisionalis, (terutama) mengarah pada corak keberagamaannya yang memelihara hirarki; kiaisantri, guru-murid, da’I-mad’u (ummat), dan sebagainya. Sehingga posisi santri, murid, dan ummat selalu sebagai obyek penerima paham-paham keagamaan secara taken for granted, dan hampir tidak ada dalam diri mereka sebuah ‘ruang merdeka’ untuk bertanya secara kritis. Sedangkan kritik yang dialamatkan kepada pemikiran modernis, terletak pada kecenderungannya yang seringkali menyanyikan normatifitas keagamaan dan menggaungkan kejayaan masa lalu, tanpa dibarengi dengan upaya metodologis maupun praksis bagi perjuangan ummat, baik untuk saat ini maupun saat yang akan datang. Trend pemikiran modernis ini dianggap telalu normatif-rasionalistik, sehingga kurang empirik.
C.    Penutup

Wanita adalah sama dengan pandangannya terhadap pria dilihat dari segi kemanusiaan. Wanita adalah manusia dan priapun manusia, masing-masing tidak berbeda dari segi kemanusiaannya, bahkan tidak ada keistimewaannya bagi yang satu atas yang lainnya dari sudut ini, atas dasar inilah pandangan islam terhadap pria dan wanita adalah sama.
Emansipasi artinya kemerdeekaan atau pembebasan, sedangkan yang dikatakan dengan emansipasi wanita yaitu kemerdekaan atau pembebasan bagi kaum perempuan dalam memperjuangkan hak kesetaraan dengan kaum pria.
MenurutQasim, kebebasankaumperempuanadalahmasalahpertama yang harusdiperjuangkan. Karenabagaimanapun, kebebasanmerupakankekayaantermahalbagisetiapmanusia yang memilikihakuntukmerdekadanbebas.Namunperlumenjadicatatan, kebebasan yang ditekankanQasimbukanlahkebebasanmutlaktanpabatas, melainkankebebasan yang dibatasidengankerangkasyariat agama danetikasosial.Kondisikaumperempuanpadawaktuitubisadisamakandenganbudak, karenabudakadalah orang yang terampaskemerdekaandanhak-haknya.Jangankanhakuntukmemperolehpendidikan, kebebasanuntukberkehendaksajasudahsedemikianterkekang.Sehinggaiatidakmempunyaikebebasanuntukberbuatlebihbanyak, baikuntukdirinyasendiri, keluargadanmasyarakatnya.
Gender adalah suatu konsep , rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yng membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan  yang dikerenakan perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibekukan menjadi budaya dan seakan tidak bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi perempuan.
Adapun pemikiran dan pembaharuan yang dilakukan oleh Riffat Hasan, diantaranya tentang hak-hak yang dimiiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam adalah sebagai berikut:
1.      Hak-hak perempuan dalam bidang politik
2.      Hak-hak perempuan dalam memilih pekerjaan
3.      Hak dan kewajiban belajar.














DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Al-Baghdadi, 2003, Islam dan Emansipasi, Jakarta: Gema Insani Press
Harun Nasution, 1975, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang
Anisia Kumala masyhadi, Qasim Amien dari Pembebasan Perempuan Menuju Pemberdayaan Perempuan Modern, dalam http://islamlib.com/id/artikel/dari-pembebasan-perempuan-menuju-pemberdayaan-perempuan-modern  , 29 November 2011
Agus Himmawan Utomo, status ontologis perempuan(gugatan riffat hasan atas konstruksi teologis dari konsep gender), dalam http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/articel/viewfile/15/12, 29 November 2011
Sri Haningsih,  pemikiran riffat hasan tentang feminisme dan implikasinya terhadap transformasi sosial islam, al-mawarid edisi xiii tahun 2005



[1] Abdurrahman Al-Baghdadi, Islam dan Emansipasi, ( Jakarta: Gema Insani Press,2003), h: 10

[2] Abdurrahman Al- Baghdadi, Ibid, h: 18
[4] Anisia Kumala masyhadi, Qasim Amien dari Pembebasan Perempuan Menuju Pemberdayaan Perempuan Modern,dalamhttp://islamlib.com/id/artikel/dari-pembebasan-perempuan-menuju-pemberdayaan-perempuan-modern  , 29 November 2011
[5] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan  Gerakan,(Jakarta: PT Bulan Bintang,1975). H: 79-80
[6] Agus Himmawan Utomo, status ontologis perempuan(gugatan riffat hasan atas konstruksi teologis dari konsep gender), dalam http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/articel/viewfile/15/12, 29 November 2011
[7] Sri Haningsih, pemikiran riffat hasantentang feminisme dan implikasinya terhadap transformasi sosial islam, dalam http//pemikiran-riffat-hasan, 20 Desember 2001